Contoh Based True Story lagi ya....
YA
ALLAH, AKU DITIPU
Oleh:
Jarni Sujarni
Siapapun anaknya, pasti ingin
berbakti dan membahagiakan orang tuanya. Sungguh aneh jaman sekarang, ada kasus
seorang anak tega memenjarakan orang tuanya demi sepotong kayu yang diambil
sang ibu dari kebunnya tanpa ijin. Naudzubilla min dzalik…. Anak seperti ini pasti pergaulannya tidak baik
saat dewasa.
Wahai saudaraku, tahukah kalian
perkara berbakti pada orang tua merupakan perkara yang mulia dan agung? Allah
Ta’ala memerintahkan kita untuk memenuhi hak-hak orang tua yang harus kita
penuhi, terlebih jika kita mendapati
mereka sudah dalam keadaan lanjut usia.
Dan
Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah
berbuat baik kepada ibu bapaknya. Jika salah satu diantara keduanya atau
kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam peliharaanmu, maka jangan
sekali-kali engkau mengatakan “ah” dan
janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan
yang baik. Dan rendahkan dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih saying dan
ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya, karena mereka berdua telah
mendidik aku pada saat masih kecil.” (QS. Al-Israa’ : 23-24)
Kisah Uwais Al-Qarni, Seorang pemuda
sholeh yang dicintai Rasul karena ketaatannya berbakti pada ibunya hingga Allah
memberikan keistimewaan atas dirinya.`Subhanallah, dia tidak dikenal oleh
penduduk bumi tapi dikenal penduduk langit. Jika berdoa pasti dikabulkan Allah.
Dikisahkan
sepulang perang, Rasul menanyakan pada Aisyah ra berkenan dengan datangnya seseorang
yang mencarinya? Rasul menjelaskan dia adalah penghuni langit. Mendengar
perkataan RAsul, Aisyah ra dan para sahabat tertegun. Aisyah ra berkata, memang
benar ada seorang pria yang datang mencari baginda Nabi, namun segera pulang ke
Yaman, karena ibunya sudah tua dan ia tidak dapat meninggalkannya terlalu lama.
Rasul bersabda,” jika kalian ingin bertemu dengannya, perhatikanlah, ia
memiliki tanda putih ditengah telapak tangannya. Dan bila suatu ketika kalian
bertemu dengannnya, mintalah do’a dan istiqfarnya, dia adalah penghuni langit
dan bukan penghuni bumi.
”
Bahkan pada hari kiamat kelak ketika semua ahli ibadah dipanggil untuk masuk
surga, dia justru dipanggil agar beehnti terlebih untuk memberi syafa’at.
Allahu Akbar ya Allah, begitu dahsyat pengaruh berbakti pada orang tua.
***
Membaca
kisah-kisah diatas, ya Allah… belum nulis
aku sudah pengen nangis, jadi teringat ibu. Rindu dan ingin kembali
lagi ke masa lalu saat ibu masih ada. Akan kubahagiakan ibu, kubasuh kakinya
setiap menjelang tidur, tapi itu tidak mungkin. Ibu lebih dicintai Allah dan
meninggal dunia saat rambutnya belum ada yang berubah warna, giginya pun belum
yang bolong dan tanggal. Rasa kehilangan
begitu dominan tapi aku sadar harus ikhlas agar ibu nyaman disisi Allah SWT,
aku berharap ibu menjadi penghuni surga dan mendapat syafaat di sisi Allah SWT.
aku
ingin bercerita bagaimana caraku berusaha membuat ibu bahagia dan berharap
sembuh dari penyakitnya, agar kamu tahu betapa beruntungnya jika masih punya bapak
dan ibu. Rawatlah semaksimal mungkin, jangan bikin sedih hati mereka.
Ibu meninggalkan saat
aku belm menikah. Kami tinggal serumah
bertiga, sementara kakak dan adikku
berpencar di beberapa daerah. Kakak pertama sudah berkeluarga dan tinggal di
Batam bersama empat anaknya. Kakak kedua dan adikku masih kuliah semester
akhir. Kehidupan kami sederhana, Bapak yang pensiunan PNS Angkatan Laut harus
berputar otak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ibu berdagang telur di pasar.
“Jar, nanti kalau kamu
sudah nikah… contoh cara kami mendidik anak, nyekolahke
anak mesti setinggi langit biar ilmu yang didapat banyak .” kata Bapak.
Bapak dan ibu banyak
mengajariku bagaimana caranya menyiasati kebutuhan dan keperluan.
“Bapak harus berpikir
enam bulan ke depan, bagaimana caranya bayaran spp kuliah nanti, Bapak harus
tanam singkong bulan Desember ben bisa
panen bulan Juli, bayaran sekolah Masmu dan adikmu.Bapak lan
Ibu nggak bisa ngasih harta dan warisan. Pendidikan yang baik buat masa depan
anak Bapak dan Ibu yang lebih penting, kamu bisa hidup mandiri dengan ilmu yang cukup.”
Aku mengangguk untuk
kesekian kalinya. Entah sudah berapa kali Bapak mengulang cerita ini dan tak bosan
aku mendengarnya apalagi menyela.
Yang kupahami, mereka
berjuang maksimal demi masa depan kami. Tak kenal lelah hingga satu persatu
anaknya selesai kuliah dan hidup mapan.
***
Satu
waktu, Ibu pengen jenguk kakak yang tinggal di Batam, ndampingi
kelahiran cucu pertama. Ibu bahagia bisa menimang cucu, pagi sore memandikan,
menggendong dan memanjakannya. Inayah Nurul Fitri, gadis kecil yang berhidung
mancung dan bermata indah. Satu bulan dirasa cukup, ibu pulang ke Prokimal dan
kembali berdagang seperti biasanya.
“Nduk,
kenapa ibu susah nelen
nasi ya?” kata Ibu.
“Coba Jarni lihat,”
kataku.
Aku melihat mulut ibu
dengan senter.
“Besok kita ke klinik
ya… Ibu sepertinya kena amandel.”
Esoknya, setelah diperiksa dokter, Ibu dinyatakan positif amandel dan harus
dioperasi. Dijadwalkan dua hari kemudian, ibu operasi amandel. Operasi yang
tidak lama berkisar setengah jam, semua berjalan lancar.
Hanya aku yang menemani
Ibu pasca operasi. Alhamdulillah sehari setelah operasi ibu bisa pulang dan
pemulihan di rumah. Tak ada keluhan yang layak dikhawatirkan hingga beberapa
bulan kedepan.
Empat bulan setelah masa itu, badan ibu demam. Dugaanku
ibu gondongan, bagian bawah dagu ibu membengkak.
Perlahan kulaburi
lehernya dengan serbuk blawu yang dicampur air asem, rutin pagi sore.
Gondogannya melunak, hanya demamnya yang semakin tingga dan badan ibu lemas.
Malam itu bapak membawa ibu ke rumah sakit daerah.
“Perawatan ya Pak,”
kata dokter UGD.
Bapak mengangguk. Aku
dan bapak gantian menjaga ibu. Bapak
setia menemani ibu jika aku mengajar di sekolah. Selama di rumah sakit ibu
tidak banyak mengeluh, minum air putih lebih banyak dari hari-hari biasanya.
Itu pertanda yang baik bukan?
Setelah pemeriksaan
intensif, dokter meminta Ibu harus dibiopsi, biopsi
itu akan dikirim ke Jakarta.
“Dari hasil biopsi
nanti dokter bisa menentukan apa penyakit ibumu,” kata Bapak.
“Apa biopsi di sini
nggak bisa, Pak? Harus ke Jakarta? Biayanya pasti mahal,” tanyaku.
“nggak apa-apa… yang
penting penyakit ibumu ketahuan, sakitnya apa,” jawab Bapak.
Aku menggangguk.
Lama
juga menunggu hasil biopsi, sementara keadaan ibu semakin lemah. Benjolan di
leher ibu terus membengkak dan berwarna hijau kebiruan. Aku menangis melihat
keadaaannya, meski tidak mengeluh aku tahu ibu kesakitan dengan kondisi seperti
itu.
“Ya, Allah….” Aku
terpekik.
Hanya mampu tertunduk
dan tergugu menangis saat dokter memberi rincian penyakit ibu berdasarkan hasil
biopsi yang diterima.
“Bapak, Isterinya
dinyatakan terkena kanker kelenjar getah bening dengan stadium empat,” kata
dokter spesialis penyakit dalam.
“maksudnya bagaimana,
dokter?” tanyaku.
“kita berusaha maksimal
memberi pelayanan dan pengobatan, cuma Allah yang berkuasa dengan peluang sembuhnya seseorang. Sebagai gambaran,
kanker kelenjar getah bening ini bisa melemahkan sistem kekebalan tubuh pasien.
Kemungkinan untuk sembuh juga tipis, tapi jangan berhenti berharap ” Jawab
dokter.
Jawaban itu membuat
kami terpaku, tak menyangka sedemikian parah sakit Ibu.
Kupandangi ibu dalam
tidurnya, tak sadar mata ini menangis jika melihat warna biru kehijauan di
leher ibu yang semakin membengkak. Ibu sudah tidak tidak mampu lagi buang hajat
ke kamar mandi. Kubantu ibu, pipis dan BAB di atas tempat tidur. Kuseka dengan
air hangat pagi dan sore hari seperti ibu biasa mandi.
Kubedaki wajahnya.
Kusisir rambutnya yang mulai rontok,rambut itu segera kusembunyikan. Aku tak
mau ibu melihatnya.
“Ibu minta maaf
merepotkanmu ya, Nduk,” kata ibu.
Aku mencium pipinya
sebagai jawaban. Hatiku memendam tangis sedih.
Kaki kiri dan kanannya
mulai membengkak, kupijati perlahan hingga bengkaknya berkurang. Kukompres
dengan air hangat yang ditambahi dengan garam meja.
Saat seperti ini, rasa
sayangku pada ibu bertambah besar. Kasihan ibu!
Beberapa tetangga kamar rumah sakit menyarankan berobat
alternatif. Pengobatannya seperti apa, bapak nggak mau cerita.
“Coba aja datang ke
Metro Lampung Tengah, Nduk. Banyak yang sembuh dengan pengobatan itu.” Kata
Bapak.
Aku belum paham daerah
itu, hanya berbekal tulisan bapak akhirnya bisa sampai ke sana. Jauhnya ya
Allah… perjalanannya harus naik bus selama tiga jam dan dilanjutkan dengan ojek
motor dengan biaya tiga puluh ribu. Tarif yang mahal untuk ukuran waktu itu.
Melewati pematang sawah
dan jalan yang rusak parah, sampai juga di rumah yang sederhana. Rumah kiai
Muntilan namanya.
Sepagi ini sudah antri,
aku diminta mendaftar dana menyebutkan biodata lengkap ibu. Petugas pendaftaran
itu masuk ke salah satu ruangan untuk menyerahkan data itu.
“sudah didaftar, Mbak…
silahkan menunggu panggilan,” katanya.
Aku mengangguk.
Satu persatu dipanggil.
Setelah beberapa saat masuk ke ruangan tempat kiai itu, mereka diajak ke ruang
belakang. Bisik-bisik, kutanyakan pada pasien lain.
“pengobatannya harus di
belakang ya, Bu?’ tanyaku.
Belum sempat menjawab
pertanyaan itu, namanya sudah dipanggil agar masuk dalam ruangan kiai.
Lama mereka berdua di
dalam. Sambil tersenyum padaku, ibu tadi mengikuti langkah kiai.
Duh, aku jadi takut.
Pengobatan macam apa ini?
“Suyati, masuk…”
Nama ibuku dipanggil.
Dengan sedikit gemetar aku masuk ruangan.
Didalam ruangan itu,
kiai Muntilan kembali menanyakan rincian data ibu, tentang penyakit dan
ciri-ciri penyakit ibu kemudian aku disuruh menunggu sampai beliau selesai
sholat.
“jangan kemana-mana ya,
Kiai minta pentunjuk Gusti Allah dulu,” katanya.
Wah… aku belum paham
bagaimana cara pengobatannya jadi sedikit kagum.
“mau ngobati saja harus
sholat dulu, mudah-mudahan ibu bisa sembuh,” pikirku dalam hati. Berharap ada
keajaiban untuk ibu.
Setelah sholat, kiai
itu mengajakku ke belakang. Keruangan yang sebelumnya di datangi pengunjung.
Ragu, aku mengikutiya.
Setelah membuka tirai
horden pembatas ternyata ruangan itu ruangan terbuka. Banyak bangkai ayam di
sana. Rasa takutku hilang.
Kiai Muntilan
melambaikan tangan. Memintaku memegang ayam yang sudah dipegangnya.
“Pegang bagian kaki ya,
Mbak… saya akan menyembelih ayam ini. Mbak baca dulu Al-Fatihah.” Kata kiai
Muntilan.
Berdua kami membacanya.
Setelah disembelih… perlahan dari bagian dada depan ayam, kiai Muntilan
membelah ayam itu.
“Mbak, andai ini ibumu…
dibagian dalam ayam ini akan tampak apa saja penyakit yang diderita ibumu.”
Kiai Muntilan
membelahnya dari kepala hingga bagian ekor ayam. Setelah ayam terbelah, tampak
bagian dalam ayam dengan jelas.
“ ini bagian ginjal
ibumu. Sudah demikian parah, Mbak…. Yang ini juga hati ibumu,” kata kiai itu.
Perlahan disentuhnya
hati ayam itu, kulihat tidak terlalu ditekan. Hati itu hancur berantakan
seperti air.
MasyaAllah…
“Ini artinya apa ya Pak
Kiai?” tanyaku.
Sambil menutup bagian
dada ayam itu dan menyatukannya dengan tali. Kiai itu menjawab,” kita hanya
berusaha menafsirkan yang sudah Mbak lihat tadi.”
“penafsiran itu
bagaimana, tolong penjelasannya!” tanyaku.
Kiai muntilan
tersenyum. Sepertinya paham arti pertanyaanku yang sedikit nyolot
itu.
“baik, ini artinya
hidup ibumu ada di tangan Gusti Allah,” katanya.
“Jadi menurut njenengan,
ibu saya nggak bisa sembuh?”
“Ya… tawakal saja!”
jawabnya.
Aku mulai paham cara
pengobatan kiai Muntilan ini, cara yang tidak lazim digunakan, orang yang disebut-sebut sebagai kiai ini tak
lebih sebagai seorang dukun.
Aku pamit pulang.
Sepanjang jalan jadi tafakur,
takut dosa.
Sesampai di rumah sakit, Bapak menanyakan hasil ‘berobat’
untuk ibu.
Detail kuceritakan
perjalananku ke sana. Bapak mengangguk-angguk mengerti.
“ya sudah, kita tawakal
saya sama Gusti Allah,” kata Bapak. Aku senang nelihat Bapak yang tidak
mempercayai apa yang sudah diperkirakan dukun tadi.
“Hanya Allah ya Maha
Kuasa pada setiap makhlukNya,” lanjut Bapak.
Kudatangi ibu, kupeluk
dan kubisikkan kalimat kalau aku menyayanginya.
Tangan ibu mengusap
jilbabku.
Aku harus kuat
sekarang. Kuat menata hati, pikiran dan iman.
Hanya pada Allah kita
meminta pertolongan untuk kesembuhan ibu. Allah Maha Mendengar segala doa
hambanya yang terucap dan yang tak terucap.
Obat yang diminum ibu semakin banyak jenisnya sementara kondisi
badannya melemah. Dokter membutuhkan delapan kantung darah golongan B untuk
membantu kesehatan ibu. Darimana aku harus mencari darah golongan B sebanyak
itu? harus beli? Uang dari mana? Ya Allah beri pertolongan dan kemudahan dengan
keadaanku saat itu.
Bismillah kudatangi masjid
almamater, berharap kesediaan teman-teman mau donor darah buat ibu. Hal yang tidak terduga, Alhamdulillah… datang
enam orang ikhwah ke rumah sakit, tanpa
pamrih membantuku.
Terimakasih ya Allah
untuk kemudahan ini.
Masih teringat dalam
ingatanku, aku menggendong kantung darah yang baru dikeluarkan dari kulkas untuk
persiapan tranfusi darah ibu agar sesuai
suhu tubuhnya, kantung darah itu selalu menempel kemanapun aku pergi. Tentu
saja aku harus hati-hati menjaga kebersihan dan mengurangi aktivitas yang bisa
menyebabkan kerusakan kantung darah itu.
Semakin lama imunitas tubuh ibu semakin menurun, dokter
meminta kami pasrah dan berdoa untuk kesembuhan penyakitnya. Kanker kelenjar
getah bening ini sudah menyerang organ vital seperti jantung, ginjal dan liver.
Setelah enam bulan dirawat intensif di rumah sakit, bapak memutuskan membawa
pulang ibu. Harapan kami, keadaan lingkungan di rumah dapat membuat suasana
hati ibu lebih nyaman.
Dokter mendukung
rencana kami dan mengijinkan membawa ibu pulang dengan memberi persiapan obat
untuk pemakaian dalam jangka waktu tertentu.
“Mudah-mudahan Ibu
segera sembuh ya Pak, mohon maaf dengan segala kekurangan pelayanan dan
perawatan selama di sini.”
Dokter spesialis
penyakit dalam itu menyalami kami. Enam bulan di rumah sakit membuat kami
akrab.
Alhamdulillah, aku senang melihat perubahan sikap ibu
selama di rumah. Tetangga bergantian menjengguk dan menemani ibu.
Tawa bahagia sering
terdengar dari kamar paling depan.
Hingga satu malam, ibu
memanggilku mendekat.
“Nduk, tadi pagi ibu
ada yang ngajak pergi jauh… ibu mau saja pergi tapi harus pamit dulu padamu,”
kata Ibu perlahan.
Aku memeluk erat tubuh
ibu erat.
“itu firasat Ibu…
doakan ibu ya, Nak.”
Kalimat itu terdengar
lirih di telingaku.
“ibu berharap husnul
khotimah, cukup damping ibu dan doakan setiap waktumu. Kamu bersedia, Jarni?”
Tangisku tak bisa lagi
kusimpan.
Biarlah airmata ini
yang menjawab semua pertanyaan ibu. Aku tak sanggup lagi berkata. Apapun yang
terjadi, sungguh aku ingin yang terbaik untuk ibu.
“Andai yang terbaik
untuk ibu adalah kesembuhan, berikan kesembuhan ya Allah… dan bila kuasaMu
berkehendak ibu harus kembali pada-Mu, beri kemudahan untuk husnul khotimah.”
Demikian doa yang
selalu kulantunkan pada setiap sholat-sholatku.
Qodarullah,
ternyata Allah SWT lebih menyayangi ibu. Dua hari kemudian ibu dipanggil
menghadapNya dengan tersenyum.
“Ya Allah, ampunilah
dosa-dosanya, kasihanilah ia, lindungilah ia dan maafkanlah ia. Muliakanlah
tempat kembalinya, lapangkanlah kuburnya,bersihkanlah ia dengan air, salju dan
air yang sejuk. Bersihkanlah ia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau telah
membersihkan pakaian puth dari kotorannya, dan gantilah rumahnya di dunia
dengan rumah yang lebih baik di akhirat serta gantikan keluarganya di dunia
dengan keluarga yang lebih baik, dan pasangannya di dunia dengan pasangan yang
lebih baik. Masukkan ia dalam surge-Mu dan lindungilah ia dari siksa kubur atau
siksa api neraka.”
Aamiin yaa Allah…
Kabulkan doa kami.
SEUNTAI
HIKMAH
1.
Sayangilah orang tuamu dengan sepenuh
jiwa dan raga. Kasih sayang mereka tak terbalas dengan pengorbanan kita yang
tidak seberapa.
2.
Beri pelayanan yang terbaik saat kedua
orang tua kita sakit dan usia lanjut.
3.
Jangan percaya pada dukun, meski mereka
mendapat julukan kiai.
4.
Berusahalah secara maksimal untuk meraih
segala sesuatu yang diharapkan kemudian serahkan segala sesuatunya pada Allah
SWT.
5.
Jadilah anak yang berbakti pada orang
tua.