Senin, 29 April 2019

TENTANG RESENSI BUKU


TENTANG RESENSI BUKU
Resensi termasuk kategori prosa baru jurnalistik.
Resensi dapat berupa paparan, ulasan dan juga gambaran terhadap suatu karya.
Resensi dibuat berdasarkan opini penulis setelah menikmati karya yang akan dibuat resensi.
Resensi bersifat subjektif, sehingga setiap resensi berbeda-beda, tergantung asumsi seseorang terhadap buku yang dibacanya.
Biasanya berisi pesan dan kesan penulis dan pembuat karya tersebut. Ada beberapa media yang menerima resensi buku.

 EMAIL MEDIA YANG MENERIMA RESENSI DAN HONORIUM 2018
No
Nama Media
Alamat Email
Tingkat Kesukaran (Dimuat)
1
ANALISA (Berhonor)
Sedang
2
Riau Post (Berhonor)
Sedang
3
HALUAN PADANG (Tidak berhonor)
Sedang
4
BASA-BASI.CO (Berhonor)
Sulit
5
PADANG EKSPRESS (Berhonor)
Sulit
6
SINGGALANG (Tidak Berhonor)
Belum tahu
7
RAKYAT SUMBAR (Tidak berhonor)
Sedang
8
LAMPUNG POS (Berhonor)
Sulit
9
KORAN JAKARTA (Berhonor)
Sulit dan ribet
10
KOMPAS (Berhonor)
Sangat sulit
11
KORAN TEMPO (Berhonor)
Sangat sulit
12
JATENG POS (Tidak berhonor)
Sulit
13
TRIBUN JATENG (Tidak berhonor)
Sedang
14
SOLOPOS (Berhonor)
Sulit
15
KEDAULATAN RAKYAT (Berhonor)
Sulit
16
JAWA POS (Berhonor)
Sangat sulit
17
HARIAN BHIRAWA SURABAYA (Tidak berhonor)
Sedang
18
MALANG POST (Tidak berhonor)
Sedang
19
MAGELANG EKSPRESS (Tidak berhonor)
Sedang
20
RADAR MALANG (Tidak berhonor)
Belum tahu
21
RADAR MOJOKERTO (Tidak berhonor)
Sedang
22
RADAR BANYUWANGI (Tidak berhonor)

Sedang
23
RADAR MADURA (Tidak berhonor)
Sedang
24
RADAR CIREBON (Berhonor)

Belum tahu
25
KABAR MADURA (Tidak berhonor)
Sedang
26
KORAN PANTURA (Tidak berhonor)
Belum tahu
27
RADAR SAMPIT (Tidak berhonor)
Sedang
28
SAMARINDA POS (Tidak berhonor)
Belum tahu

EMAIL KONFIRMASI PEMUATAN RESENSI KE PENERBIT

1.             DIVA PRESS
2.             PENERBIT QUANTA
3.             PENERBIT REPUBLIKA
4.             KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA
5.             BENTANG PUSTAKA
6.             PENERBIT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA (GPU)
redaksi@gramediapublishers.com atau ke WA 0838-9888-0248 public relation GPU atas nama Dionisius Wisnu.
Konfirmasi pemuatan berupa bukti scan/foto pemuatan resensi dapat terlihat jelas, berupa halaman lengkap yang memuat nama media beserta tanggal, ataupun tautan untuk membaca resensi. Kemudian, biodata diri, dan scan KTP/KTM/KP
7.             PENERBIT NOURA
8.             PT ELEX MEDIA KOMPUTINDO

9. Basabasi
basabasistore@gmail.com
yang wajib ada: Nama, alamat, nomer HP, bukti resensi

semoga bermanfaat ya….




Jumat, 26 April 2019

CONTOH TULISAN BASED TRUE STORY TENTANG RUMAH TANGGA

Contoh Based True Story lagi ya....


YA ALLAH, AKU DITIPU
Oleh: Jarni Sujarni
            Siapapun anaknya, pasti ingin berbakti dan membahagiakan orang tuanya. Sungguh aneh jaman sekarang, ada kasus seorang anak tega memenjarakan orang tuanya demi sepotong kayu yang diambil sang ibu dari kebunnya tanpa ijin. Naudzubilla min dzalik….  Anak seperti ini pasti pergaulannya tidak baik saat dewasa.
            Wahai saudaraku, tahukah kalian perkara berbakti pada orang tua merupakan perkara yang mulia dan agung? Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk memenuhi hak-hak orang tua yang harus kita penuhi, terlebih  jika kita mendapati mereka sudah dalam keadaan lanjut usia.
Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapaknya. Jika salah satu diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam peliharaanmu, maka jangan sekali-kali  engkau mengatakan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkan dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih saying dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya, karena mereka berdua telah mendidik aku pada saat masih kecil.” (QS. Al-Israa’ : 23-24)
            Kisah Uwais Al-Qarni, Seorang pemuda sholeh yang dicintai Rasul karena ketaatannya berbakti pada ibunya hingga Allah memberikan keistimewaan atas dirinya.`Subhanallah, dia tidak dikenal oleh penduduk bumi tapi dikenal penduduk langit. Jika berdoa pasti dikabulkan Allah.
Dikisahkan sepulang perang, Rasul menanyakan pada Aisyah ra berkenan dengan datangnya seseorang yang mencarinya? Rasul menjelaskan dia adalah penghuni langit. Mendengar perkataan RAsul, Aisyah ra dan para sahabat tertegun. Aisyah ra berkata, memang benar ada seorang pria yang datang mencari baginda Nabi, namun segera pulang ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan ia tidak dapat meninggalkannya terlalu lama. Rasul bersabda,” jika kalian ingin bertemu dengannya, perhatikanlah, ia memiliki tanda putih ditengah telapak tangannya. Dan bila suatu ketika kalian bertemu dengannnya, mintalah do’a dan istiqfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi.
” Bahkan pada hari kiamat kelak ketika semua ahli ibadah dipanggil untuk masuk surga, dia justru dipanggil agar beehnti terlebih untuk memberi syafa’at. Allahu Akbar ya Allah, begitu dahsyat pengaruh berbakti pada orang tua.
***
Membaca kisah-kisah diatas, ya Allah… belum nulis  aku  sudah pengen nangis,  jadi teringat ibu. Rindu dan ingin kembali lagi ke masa lalu saat ibu masih ada. Akan kubahagiakan ibu, kubasuh kakinya setiap menjelang tidur, tapi itu tidak mungkin. Ibu lebih dicintai Allah dan meninggal dunia saat rambutnya belum ada yang berubah warna, giginya pun belum yang bolong dan tanggal.  Rasa kehilangan begitu dominan tapi aku sadar harus ikhlas agar ibu nyaman disisi Allah SWT, aku berharap ibu menjadi penghuni surga dan mendapat syafaat di sisi Allah SWT.
aku ingin bercerita bagaimana caraku berusaha membuat ibu bahagia dan berharap sembuh dari penyakitnya, agar kamu tahu betapa beruntungnya jika masih punya bapak dan ibu. Rawatlah semaksimal mungkin, jangan bikin sedih hati mereka.
Ibu meninggalkan saat aku belm menikah.  Kami tinggal serumah bertiga,  sementara kakak dan adikku berpencar di beberapa daerah. Kakak pertama sudah berkeluarga dan tinggal di Batam bersama empat anaknya. Kakak kedua dan adikku masih kuliah semester akhir. Kehidupan kami sederhana, Bapak yang pensiunan PNS Angkatan Laut harus berputar otak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ibu berdagang telur di pasar.
“Jar, nanti kalau kamu sudah nikah… contoh cara kami mendidik anak, nyekolahke[1] anak mesti setinggi langit biar ilmu yang didapat banyak .” kata Bapak.
Bapak dan ibu banyak mengajariku bagaimana caranya menyiasati kebutuhan dan keperluan.
“Bapak harus berpikir enam bulan ke depan, bagaimana caranya bayaran spp kuliah nanti, Bapak harus tanam singkong bulan Desember ben[2] bisa panen bulan Juli, bayaran sekolah Masmu dan adikmu.Bapak lan[3] Ibu nggak bisa ngasih harta dan warisan. Pendidikan yang baik buat masa depan anak Bapak dan Ibu yang lebih penting, kamu bisa hidup mandiri dengan  ilmu yang cukup.”
Aku mengangguk untuk kesekian kalinya. Entah sudah berapa kali Bapak mengulang cerita ini dan tak bosan aku mendengarnya apalagi menyela.
Yang kupahami, mereka berjuang maksimal demi masa depan kami. Tak kenal lelah hingga satu persatu anaknya selesai kuliah dan hidup mapan.
***
Satu waktu, Ibu pengen jenguk kakak yang tinggal di Batam, ndampingi[4] kelahiran cucu pertama. Ibu bahagia bisa menimang cucu, pagi sore memandikan, menggendong dan memanjakannya. Inayah Nurul Fitri, gadis kecil yang berhidung mancung dan bermata indah. Satu bulan dirasa cukup, ibu pulang ke Prokimal dan kembali berdagang seperti biasanya.
“Nduk[5], kenapa ibu susah nelen[6] nasi ya?” kata Ibu.
“Coba Jarni lihat,” kataku.
Aku melihat mulut ibu dengan senter.
“Besok kita ke klinik ya… Ibu sepertinya kena amandel.”
            Esoknya, setelah diperiksa dokter,  Ibu dinyatakan positif amandel dan harus dioperasi. Dijadwalkan dua hari kemudian, ibu operasi amandel. Operasi yang tidak lama berkisar setengah jam, semua berjalan lancar.
Hanya aku yang menemani Ibu pasca operasi. Alhamdulillah sehari setelah operasi ibu bisa pulang dan pemulihan di rumah. Tak ada keluhan yang layak dikhawatirkan hingga beberapa bulan kedepan.
            Empat bulan setelah masa itu, badan ibu demam. Dugaanku ibu gondongan, bagian bawah dagu ibu membengkak.
Perlahan kulaburi[7] lehernya dengan serbuk blawu yang dicampur air asem, rutin pagi sore. Gondogannya melunak, hanya demamnya yang semakin tingga dan badan ibu lemas. Malam itu bapak membawa ibu ke rumah sakit daerah.
“Perawatan ya Pak,” kata dokter UGD.
Bapak mengangguk. Aku dan bapak gantian menjaga  ibu. Bapak setia menemani ibu jika aku mengajar di sekolah. Selama di rumah sakit ibu tidak banyak mengeluh, minum air putih lebih banyak dari hari-hari biasanya. Itu pertanda yang baik bukan?
Setelah pemeriksaan intensif, dokter meminta Ibu harus dibiopsi[8], biopsi itu akan dikirim ke Jakarta.
“Dari hasil biopsi nanti dokter bisa menentukan apa penyakit ibumu,” kata Bapak.
“Apa biopsi di sini nggak bisa, Pak? Harus ke Jakarta? Biayanya pasti mahal,” tanyaku.
“nggak apa-apa… yang penting penyakit ibumu ketahuan, sakitnya apa,” jawab Bapak.
Aku menggangguk.
Lama juga menunggu hasil biopsi, sementara keadaan ibu semakin lemah. Benjolan di leher ibu terus membengkak dan berwarna hijau kebiruan. Aku menangis melihat keadaaannya, meski tidak mengeluh aku tahu ibu kesakitan dengan kondisi seperti itu.
“Ya, Allah….” Aku terpekik.
Hanya mampu tertunduk dan tergugu menangis saat dokter memberi rincian penyakit ibu berdasarkan hasil biopsi yang diterima.
“Bapak, Isterinya dinyatakan terkena kanker kelenjar getah bening dengan stadium empat,” kata dokter spesialis penyakit dalam.
“maksudnya bagaimana, dokter?” tanyaku.
“kita berusaha maksimal memberi pelayanan dan pengobatan, cuma Allah yang berkuasa dengan  peluang sembuhnya seseorang. Sebagai gambaran, kanker kelenjar getah bening ini bisa melemahkan sistem kekebalan tubuh pasien. Kemungkinan untuk sembuh juga tipis, tapi jangan berhenti berharap ” Jawab dokter.
Jawaban itu membuat kami terpaku, tak menyangka sedemikian parah sakit Ibu.
Kupandangi ibu dalam tidurnya, tak sadar mata ini menangis jika melihat warna biru kehijauan di leher ibu yang semakin membengkak. Ibu sudah tidak tidak mampu lagi buang hajat ke kamar mandi. Kubantu ibu, pipis dan BAB di atas tempat tidur. Kuseka dengan air hangat pagi dan sore hari seperti ibu biasa mandi.
Kubedaki wajahnya. Kusisir rambutnya yang mulai rontok,rambut itu segera kusembunyikan. Aku tak mau ibu melihatnya.
“Ibu minta maaf merepotkanmu ya, Nduk,” kata ibu.
Aku mencium pipinya sebagai jawaban. Hatiku memendam tangis sedih.
Kaki kiri dan kanannya mulai membengkak, kupijati perlahan hingga bengkaknya berkurang. Kukompres dengan air hangat yang ditambahi dengan garam meja.
Saat seperti ini, rasa sayangku pada ibu bertambah besar. Kasihan ibu!
            Beberapa tetangga kamar rumah sakit menyarankan berobat alternatif. Pengobatannya seperti apa, bapak nggak mau cerita.
“Coba aja datang ke Metro Lampung Tengah, Nduk. Banyak yang sembuh dengan pengobatan itu.” Kata Bapak.
Aku belum paham daerah itu, hanya berbekal tulisan bapak akhirnya bisa sampai ke sana. Jauhnya ya Allah… perjalanannya harus naik bus selama tiga jam dan dilanjutkan dengan ojek motor dengan biaya tiga puluh ribu. Tarif yang mahal untuk ukuran waktu itu.
Melewati pematang sawah dan jalan yang rusak parah, sampai juga di rumah yang sederhana. Rumah kiai Muntilan namanya.
Sepagi ini sudah antri, aku diminta mendaftar dana menyebutkan biodata lengkap ibu. Petugas pendaftaran itu masuk ke salah satu ruangan untuk menyerahkan data itu.
“sudah didaftar, Mbak… silahkan menunggu panggilan,” katanya.
Aku mengangguk.
Satu persatu dipanggil. Setelah beberapa saat masuk ke ruangan tempat kiai itu, mereka diajak ke ruang belakang. Bisik-bisik, kutanyakan pada pasien lain.
“pengobatannya harus di belakang ya, Bu?’ tanyaku.
Belum sempat menjawab pertanyaan itu, namanya sudah dipanggil agar masuk dalam ruangan kiai.
Lama mereka berdua di dalam. Sambil tersenyum padaku, ibu tadi mengikuti langkah kiai.
Duh, aku jadi takut. Pengobatan macam apa ini?
“Suyati, masuk…”
Nama ibuku dipanggil. Dengan sedikit gemetar aku masuk ruangan.
Didalam ruangan itu, kiai Muntilan kembali menanyakan rincian data ibu, tentang penyakit dan ciri-ciri penyakit ibu kemudian aku disuruh menunggu sampai beliau selesai sholat.
“jangan kemana-mana ya, Kiai minta pentunjuk Gusti Allah dulu,” katanya.
Wah… aku belum paham bagaimana cara pengobatannya jadi sedikit kagum.
“mau ngobati saja harus sholat dulu, mudah-mudahan ibu bisa sembuh,” pikirku dalam hati. Berharap ada keajaiban untuk ibu.
Setelah sholat, kiai itu mengajakku ke belakang. Keruangan yang sebelumnya di datangi pengunjung.
Ragu, aku mengikutiya.
Setelah membuka tirai horden pembatas ternyata ruangan itu ruangan terbuka. Banyak bangkai ayam di sana. Rasa takutku hilang.
Kiai Muntilan melambaikan tangan. Memintaku memegang ayam yang sudah dipegangnya.
“Pegang bagian kaki ya, Mbak… saya akan menyembelih ayam ini. Mbak baca dulu Al-Fatihah.” Kata kiai Muntilan.
Berdua kami membacanya. Setelah disembelih… perlahan dari bagian dada depan ayam, kiai Muntilan membelah ayam itu.
“Mbak, andai ini ibumu… dibagian dalam ayam ini akan tampak apa saja penyakit yang diderita ibumu.”
Kiai Muntilan membelahnya dari kepala hingga bagian ekor ayam. Setelah ayam terbelah, tampak bagian dalam ayam dengan jelas.
“ ini bagian ginjal ibumu. Sudah demikian parah, Mbak…. Yang ini juga hati ibumu,” kata kiai itu.
Perlahan disentuhnya hati ayam itu, kulihat tidak terlalu ditekan. Hati itu hancur berantakan seperti air.
MasyaAllah…
“Ini artinya apa ya Pak Kiai?” tanyaku.
Sambil menutup bagian dada ayam itu dan menyatukannya dengan tali. Kiai itu menjawab,” kita hanya berusaha menafsirkan yang sudah Mbak lihat tadi.”
“penafsiran itu bagaimana, tolong penjelasannya!” tanyaku.
Kiai muntilan tersenyum. Sepertinya paham arti pertanyaanku yang sedikit nyolot[9] itu.
“baik, ini artinya hidup ibumu ada di tangan Gusti Allah,” katanya.
“Jadi menurut njenengan[10], ibu saya nggak bisa sembuh?”
“Ya… tawakal saja!” jawabnya.
Aku mulai paham cara pengobatan kiai Muntilan ini, cara yang tidak lazim digunakan,  orang yang disebut-sebut sebagai kiai ini tak lebih sebagai seorang dukun.
Aku pamit pulang.
Sepanjang jalan jadi tafakur[11], takut dosa.
            Sesampai di rumah sakit, Bapak menanyakan hasil ‘berobat’ untuk ibu.
Detail kuceritakan perjalananku ke sana. Bapak mengangguk-angguk mengerti.
“ya sudah, kita tawakal saya sama Gusti Allah,” kata Bapak. Aku senang nelihat Bapak yang tidak mempercayai apa yang sudah diperkirakan dukun tadi.
“Hanya Allah ya Maha Kuasa pada setiap makhlukNya,” lanjut Bapak.
Kudatangi ibu, kupeluk dan kubisikkan kalimat kalau aku menyayanginya.
Tangan ibu mengusap jilbabku.
Aku harus kuat sekarang. Kuat menata hati, pikiran dan iman.
Hanya pada Allah kita meminta pertolongan untuk kesembuhan ibu. Allah Maha Mendengar segala doa hambanya yang terucap dan yang tak terucap.
            Obat yang diminum  ibu semakin banyak jenisnya sementara kondisi badannya melemah. Dokter membutuhkan delapan kantung darah golongan B untuk membantu kesehatan ibu. Darimana aku harus mencari darah golongan B sebanyak itu? harus beli? Uang dari mana?  Ya  Allah beri pertolongan dan kemudahan dengan keadaanku saat itu.
Bismillah kudatangi masjid almamater, berharap kesediaan teman-teman mau donor darah buat ibu.  Hal yang tidak terduga, Alhamdulillah… datang enam  orang ikhwah ke rumah sakit, tanpa pamrih membantuku.
Terimakasih ya Allah untuk kemudahan ini.  
Masih teringat dalam ingatanku, aku menggendong kantung darah yang baru dikeluarkan dari kulkas untuk persiapan tranfusi darah ibu agar  sesuai suhu tubuhnya, kantung darah itu selalu menempel kemanapun aku pergi. Tentu saja aku harus hati-hati menjaga kebersihan dan mengurangi aktivitas yang bisa menyebabkan kerusakan kantung darah itu.
            Semakin lama imunitas tubuh ibu semakin menurun, dokter meminta kami pasrah dan berdoa untuk kesembuhan penyakitnya. Kanker kelenjar getah bening ini sudah menyerang organ vital seperti jantung, ginjal dan liver. Setelah enam bulan dirawat intensif di rumah sakit, bapak memutuskan membawa pulang ibu. Harapan kami, keadaan lingkungan di rumah dapat membuat suasana hati ibu lebih nyaman.
Dokter mendukung rencana kami dan mengijinkan membawa ibu pulang dengan memberi persiapan obat untuk pemakaian dalam jangka waktu tertentu.
“Mudah-mudahan Ibu segera sembuh ya Pak, mohon maaf dengan segala kekurangan pelayanan dan perawatan selama di sini.”
Dokter spesialis penyakit dalam itu menyalami kami. Enam bulan di rumah sakit membuat kami akrab.
            Alhamdulillah, aku senang melihat perubahan sikap ibu selama di rumah. Tetangga bergantian menjengguk dan menemani ibu.
Tawa bahagia sering terdengar dari kamar paling depan.
Hingga satu malam, ibu memanggilku mendekat.
“Nduk, tadi pagi ibu ada yang ngajak pergi jauh… ibu mau saja pergi tapi harus pamit dulu padamu,” kata Ibu perlahan.
Aku memeluk erat tubuh ibu erat.
“itu firasat Ibu… doakan ibu ya, Nak.”
Kalimat itu terdengar lirih di telingaku.
“ibu berharap husnul khotimah, cukup damping ibu dan doakan setiap waktumu. Kamu bersedia, Jarni?”
Tangisku tak bisa lagi kusimpan.
Biarlah airmata ini yang menjawab semua pertanyaan ibu. Aku tak sanggup lagi berkata. Apapun yang terjadi, sungguh aku ingin yang terbaik untuk ibu.
“Andai yang terbaik untuk ibu adalah kesembuhan, berikan kesembuhan ya Allah… dan bila kuasaMu berkehendak ibu harus kembali pada-Mu, beri kemudahan untuk husnul khotimah.”
Demikian doa yang selalu kulantunkan pada setiap sholat-sholatku.
Qodarullah, ternyata Allah SWT lebih menyayangi ibu. Dua hari kemudian ibu dipanggil menghadapNya dengan tersenyum.
“Ya Allah, ampunilah dosa-dosanya, kasihanilah ia, lindungilah ia dan maafkanlah ia. Muliakanlah tempat kembalinya, lapangkanlah kuburnya,bersihkanlah ia dengan air, salju dan air yang sejuk. Bersihkanlah ia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau telah membersihkan pakaian puth dari kotorannya, dan gantilah rumahnya di dunia dengan rumah yang lebih baik di akhirat serta gantikan keluarganya di dunia dengan keluarga yang lebih baik, dan pasangannya di dunia dengan pasangan yang lebih baik. Masukkan ia dalam surge-Mu dan lindungilah ia dari siksa kubur atau siksa api neraka.”
Aamiin yaa Allah…
Kabulkan doa kami.
SEUNTAI HIKMAH
1.      Sayangilah orang tuamu dengan sepenuh jiwa dan raga. Kasih sayang mereka tak terbalas dengan pengorbanan kita yang tidak seberapa.
2.      Beri pelayanan yang terbaik saat kedua orang tua kita sakit dan  usia lanjut.
3.      Jangan percaya pada dukun, meski mereka mendapat julukan kiai.
4.      Berusahalah secara maksimal untuk meraih segala sesuatu yang diharapkan kemudian serahkan segala sesuatunya pada Allah SWT.
5.      Jadilah anak yang berbakti pada orang tua.









1  menyekolahkan
[2] biar
[3] dan
[4] mendampingi
[5] Panggilan anak perempuan dalam bahasa Jawa
[6] menelan
[7] dibaluri
[8] Pengambilan jaringan atau sampel sel dari tubuh untuk membantu tim medis mendiagnosa penyakit yang diderita pasien.
[9] ngotot
[10] Kamu (dalam bahasa Jawa, sebutan buat orang yang lebih tua)
[11] Merenung dengan melihat, menganalisa dan meyakini sesuatu yang berhubungan dengan Allah.