Buku inilah buku
pertama saya belajar mereview. Biar saja saya tulis apa adanya ya… ada semacam
kenang-kenangan tersendiri loh…
Belajarnya ototidak
mereview, belajar berani menulis. Awalnya saya ndak pede bikin resensi atau
review, Cuma seiring perjalanan waktu dan dorongan semangat dari teman
seprofesi (hikhikhik… di sini saya ndak
berani bilang kalau peresensi ini profesi saya, lah wong say amah apalah…
apalah dibanding teman-teman saya)
Jadilah seperti ini
review bukunya Mbak Khairani Piliang. Mohon maaf ya, Mbak…
RAHASIA
JANJI
Judul : Suatu Pagi di dermaga
Pengarang : Khairani Piliang
Penerbit :
LovRinz Publishing
Tahun
terbit : Mei 2017
Cetakan :
1
Tebal
Halaman: v + 169 hal.
ISBN : 978-602-6652-25-6
Buku ini mengekplorasi
berbagai masalah manusia, tentang cinta, persahabatan, pengkhianatan, murka,
benci, dan dendam. Cover bukunya berani, berwarna merah dengan gambar wanita
menghadap ke belakang menyiratkan isi buku yang
penuh teka-teki dan misteri kehidupan wanita.
Judul buku Suatu Pagi
di Dermaga diambil dari salah satu judul cerpen, yang pernah dimuat dalam surat
kabar “Minggu Pagi” Minggu I, 8 Mei 2016. Penulis menyajikan ceritanya dengan
bahasa yang sederhana dan mudah
dipahami. Helaan napas panjang pada akhir cerita dapat menggambarkan kegeraman pada tokoh Randu dan
kegetiran nasib Lintang. Bagaimana tidak, Randu begitu mudah melupakan janji
seorang gadis setia, sepenuh harapan menanti dan percaya sang pujaan hati akan
kembali kepadanya. Hari berganti bulan dan bulan berganti tahun ternyata sikap
Randu mendua.
Kisah ini berawal dari
Lintang yang bersepeda menemui Randu kekasihnya. Ada perasaan sedih, kesal,
bingung, marah dan rindu yang bercampur menjadi satu pada sang kekasih.
“Nak apa ke sini, Pipit
Kecil?” Randu berkata seolah suaranya bagai angin. Lintang menatap tajam Randu.
“ Masih bertanya
setelah ingin meninggalkanku tanpa pamit?maksudnya apa, hah? “ sergah Lintang
sengit.
Randu meraih tangan
lintang dan menyelipkan sesuatu di
jemari Lintang.
“Aku tahu kau akan ke
sini, segera simpan dan buka nanti di Benteng (sebutan untuk reruntuhan tempat
bermain saat sejak kecil). Aku akan menyuratimu selanjutnya. Sekarang
pulanglah, Pipit Kecil, jangan sampai kita dipersulit lagi karena jumpa di
sini,” Randu berkata dengan suara sedikit bergetar, antara menahan rindu dan
resah tak dapat berjumpa dalam jangka lama. Lintang mengikuti apa yang diminta
Randu. Tak sampai mengayuh hingga sepuluh meter, Lintang menoleh ke belakang.
Menatap sesaat Randu yang masih memandanginya.
Berhari-hari,
berminggu-minggu Lintang menunggu surat Randu yang tak datang juga. Dua sobekan
lagi penantian Lintang memasuki usia tahun. Ratna sahabatnya telah
mengingatkannya akan kemungkinan mereka tak akan bersatu. Lintang tak peduli ia
yakin Randu tak akan ingkar. Seperti pagi ini Lintang berdandan sederhana, rapi
dan cantik. Ia akan pergi ke Benteng menanti kedatangan Randu. Penantiannya
sia-sia, hingga matahari terbenam Randu tak muncul juga.
Tiga tahun sudah
penantiannya, Lintang selalu mendatangi Benteng saat bulan purnama, sekedar
menyisipkan secarik kertas di antara reruntuhan babatuan benteng. Kertas yang
berisi kerinduan, rasa sayang, kesetiaan dan harapannya.
Suatu hari, Lintang
bersenandung kecil. Hari ini hatinya sedang ceria, ia akan mengayuh sepedanya
ke dermaga selepas menyisipkan kertas berisi tulisan puisi yang semalam
ditulisnya. Sampai dermaga, Lintang mendekati keramaian. Pandangannya tertumbuk
pada sosok yang tak asing baginya, Randu !
Saat hendak berlari
mendekati, Lintang mengurungkan niatnya. Seorang wanita bergelanyut di
lengannya. Lintang memaku berdiri, bibirnya mengatup, pandangannya tajam
memandang kedua sejoli itu.
“Randu!” panggil
Lintang.
Sontak keduanya
menoleh, si lelaki tersenyum dan mendekat.
“Lintang, apa kabarmu?”
kata Randu dengan gaya bicara yang sangat berbeda, tak seperti saat mereka
berbicara di dermaga sebelum berpisah.
“Oh ya kenalkan ini
calon tunanganku, kami segera bertunangan dalam waktu dekat’” lanjutnya.
Lintang tak menyahut,
jantungnya serasa dibelah. Tanpa berkata secepat kilat ia berbalik meninggalkan
lelaki yang telah membunuh jiwanya.
Khairani pandai
menyajikan tokoh-tokohnya mulai dari awal cerita hingga konflik yang tak
terduga.. Kisah Lelaki Gerhana yang mengharukan, kisah patung tangan yang penuh
misteri, layak mendapat jempol.
Kekurangannya, hanya pada
beberapa bagian kalimat yang tak perlu dijabarkan secara terinci hingga cerita
tidak terlihat kaku dan ending beberapa cerita yang segera dapat ditebak pada
pertengahan cerita pada cerpen tertentu, namun kumpulan cerpen ini tetap asyik
di nikmati dengan berbagai kisah kehidupan wanita. Tak salah kata teman
cerpenis, Ida Fitri. Karya Khairani Piliang terasa manis dan renyah seperti penganan minum kopi
di sore hari.
Peresensi
Jarni Sujarni, guru IPA Mts Negeri 3 Bekasi dan peresensi beberapa media surat kabar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar