Jumat, 12 April 2019

Review Buku Suatu Pagi di Dermaga



Buku inilah buku pertama saya belajar mereview. Biar saja saya tulis apa adanya ya… ada semacam kenang-kenangan tersendiri loh…
Belajarnya ototidak mereview, belajar berani menulis. Awalnya saya ndak pede bikin resensi atau review, Cuma seiring perjalanan waktu dan dorongan semangat dari teman seprofesi (hikhikhik…  di sini saya ndak berani bilang kalau peresensi ini profesi saya, lah wong say amah apalah… apalah dibanding teman-teman saya)
Jadilah seperti ini review bukunya Mbak Khairani Piliang. Mohon maaf ya, Mbak…


RAHASIA JANJI

Judul               : Suatu Pagi di dermaga
Pengarang       : Khairani Piliang
Penerbit           :  LovRinz Publishing
Tahun terbit     :   Mei 2017
Cetakan           :  1
Tebal Halaman:  v + 169 hal.
ISBN               : 978-602-6652-25-6











Buku ini mengekplorasi berbagai masalah manusia, tentang cinta, persahabatan, pengkhianatan, murka, benci, dan dendam. Cover bukunya berani, berwarna merah dengan gambar wanita menghadap ke belakang menyiratkan isi buku yang  penuh teka-teki dan misteri kehidupan wanita.
Judul buku Suatu Pagi di Dermaga diambil dari salah satu judul cerpen, yang pernah dimuat dalam surat kabar “Minggu Pagi” Minggu I, 8 Mei 2016. Penulis menyajikan ceritanya dengan bahasa  yang sederhana dan mudah dipahami. Helaan napas panjang pada akhir cerita dapat  menggambarkan kegeraman pada tokoh Randu dan kegetiran nasib Lintang. Bagaimana tidak, Randu begitu mudah melupakan janji seorang gadis setia, sepenuh harapan menanti dan percaya sang pujaan hati akan kembali kepadanya. Hari berganti bulan dan bulan berganti tahun ternyata sikap Randu mendua.
Kisah ini berawal dari Lintang yang bersepeda menemui Randu kekasihnya. Ada perasaan sedih, kesal, bingung, marah dan rindu yang bercampur menjadi satu pada sang kekasih.
“Nak apa ke sini, Pipit Kecil?” Randu berkata seolah suaranya bagai angin. Lintang menatap tajam Randu.
“ Masih bertanya setelah ingin meninggalkanku tanpa pamit?maksudnya apa, hah? “ sergah Lintang sengit.
Randu meraih tangan lintang dan  menyelipkan sesuatu di jemari Lintang.
“Aku tahu kau akan ke sini, segera simpan dan buka nanti di Benteng (sebutan untuk reruntuhan tempat bermain saat sejak kecil). Aku akan menyuratimu selanjutnya. Sekarang pulanglah, Pipit Kecil, jangan sampai kita dipersulit lagi karena jumpa di sini,” Randu berkata dengan suara sedikit bergetar, antara menahan rindu dan resah tak dapat berjumpa dalam jangka lama. Lintang mengikuti apa yang diminta Randu. Tak sampai mengayuh hingga sepuluh meter, Lintang menoleh ke belakang. Menatap sesaat Randu yang masih memandanginya.
Berhari-hari, berminggu-minggu Lintang menunggu surat Randu yang tak datang juga. Dua sobekan lagi penantian Lintang memasuki usia tahun. Ratna sahabatnya telah mengingatkannya akan kemungkinan mereka tak akan bersatu. Lintang tak peduli ia yakin Randu tak akan ingkar. Seperti pagi ini Lintang berdandan sederhana, rapi dan cantik. Ia akan pergi ke Benteng menanti kedatangan Randu. Penantiannya sia-sia, hingga matahari terbenam Randu tak muncul juga.
Tiga tahun sudah penantiannya, Lintang selalu mendatangi Benteng saat bulan purnama, sekedar menyisipkan secarik kertas di antara reruntuhan babatuan benteng. Kertas yang berisi kerinduan, rasa sayang, kesetiaan dan harapannya.
Suatu hari, Lintang bersenandung kecil. Hari ini hatinya sedang ceria, ia akan mengayuh sepedanya ke dermaga selepas menyisipkan kertas berisi tulisan puisi yang semalam ditulisnya. Sampai dermaga, Lintang mendekati keramaian. Pandangannya tertumbuk pada sosok yang tak asing baginya, Randu !
Saat hendak berlari mendekati, Lintang mengurungkan niatnya. Seorang wanita bergelanyut di lengannya. Lintang memaku berdiri, bibirnya mengatup, pandangannya tajam memandang kedua sejoli itu.
“Randu!” panggil Lintang.
Sontak keduanya menoleh, si lelaki tersenyum dan mendekat.
“Lintang, apa kabarmu?” kata Randu dengan gaya bicara yang sangat berbeda, tak seperti saat mereka berbicara di dermaga sebelum berpisah.
“Oh ya kenalkan ini calon tunanganku, kami segera bertunangan dalam waktu dekat’” lanjutnya.
Lintang tak menyahut, jantungnya serasa dibelah. Tanpa berkata secepat kilat ia berbalik meninggalkan lelaki yang telah membunuh jiwanya.
Khairani pandai menyajikan tokoh-tokohnya mulai dari awal cerita hingga konflik yang tak terduga.. Kisah Lelaki Gerhana yang mengharukan, kisah patung tangan yang penuh misteri, layak mendapat jempol.
Kekurangannya, hanya pada beberapa bagian kalimat yang tak perlu dijabarkan secara terinci hingga cerita tidak terlihat kaku dan ending beberapa cerita yang segera dapat ditebak pada pertengahan cerita pada cerpen tertentu, namun kumpulan cerpen ini tetap asyik di nikmati dengan berbagai kisah kehidupan wanita. Tak salah kata teman cerpenis, Ida Fitri. Karya Khairani Piliang terasa  manis dan renyah seperti penganan minum kopi di sore hari.
  
Peresensi











 Jarni Sujarni,  guru IPA Mts Negeri 3 Bekasi dan peresensi beberapa media surat kabar.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar