Satu contoh based true story siap untuk dikritik dan dipelajari, hehehe.... Selamat menikmati kawan- kawan 😊
YA ALLAH, BERILAH AKU KEKUATAN SAAT MELAHIRKAN
EXPECTED BABY
Jarni Sujarni
Kisah ini bermula Ketika seorang teman bertanya tentang
pengalamanku melahirkan dua bayi mungil dan satu kali keguguran karena virus
tokso dan bagaimana kisah penantian menimang anak pertama yang hadirnya cukup
lama dinanti .
***
Nomer urut pertama sudah
ada dalam kantung baju yang kupakai padahal masih pagi terlalu pagi untuk
berobat.
Setelah ambil nomer
antrian daftar pasien di Puskesmas Tambun, kuputuskan sarapan soto Surabaya .
Ga peduli tempatnya nyempil di pinggir jalan tikus* dan rame orang lalu-lalang di sekitarnya,
yang penting soto itu enak dan nyaman di perutku.
Tinggal seorang diri
enaknya memang seperti ini.
Pengen makan, mampir!,
kata suami yang ada di seberang sana. Beruntung juga punya badan yang sulit melar, makan model
bagaimanapun tak bisa bikin badan ini gembul.
Setelah beres isi perut
dan cek beberapa pesan yang ada di hape, kembali ke Puskesmas. Sudah banyak
yang hadir rupanya, karyawan instansi pemerintah sekarang terlihat disiplin,
beberapa dokter terlihat sudah ada di kursinya.
Panggilan pertama…
“Ibu Nisaaa…silahkan
masuk!”
“Apa keluhannya, Bu?”
Tanya Dokter muda itu. Dokter Erlin namanya. Dokter cantik dan style.
“Begini Dok, rasanya
badan ini kok pegel semua bagian pinggang ya? Rasanya perut mual kalau makan, mules… kepala juga sering
pusing.”
Dokter memintaku
berbaring. Menekan-nekan perut bawah tulang dada dan sedikit menepuk-nepuknya.
“Sudah lama lama
seperti ini, Bu?”
Aku menjawab dengan
gelengan kepala.
Dokter menyarankan
untuk tes urine di Lab Puskesmas.
Loh…sakit perut kok ya
malah tes urine. Apa aku hamil?
“Selamat, Bu…. Ibu
positf hamil 3 minggu.” Kata Dokter sambil menjabat tanganku.
Bahagia? Waduh, jangan
ditanya tentang hal ini. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk
mendengarkan kalimat itu. Aku menangis!
Maaf ya Dokter,
menangis dipelukanmu membuatku nyaman.
Setelah sampai di
rumah, suami harus menjadi orang pertama menerima kabar ini. Jarak yang memisahkan tak menjadi halangan saling
berkomunikasi.
“Assalamu’alaikum,
Abang….”
Setengah jam berbincang
dengannya membuatku gemetar. Aku tahu suamiku bahagia dengan kabarku. Sesaat
setelah kata postif hamil, Abang terdiam, lama.
“Dik, Alhamdulillah,
Abang senang banget. Jaga dan rawat kesehatan ya…. Dua hari lagi Abang pulang.”
Aku tersenyum.
Ternyata kepulangannya
kali ini pulang untuk selama-lamanya. Perusahaan pengeboran minyak mentah mem-PHK sepihak suamiku.
***
Sesuatu rasanya sudah
menyabotase selera makanku, aku mulai
mual dengan bau-bau bawang goreng yang tercium. Malas makan!
Aku yang notebene
penggemar segala makanan, kali ini harus merelakan memuntahkan kembali beberapa
suap yang berhasil masuk ke dalam organ pencernaan. Beuntung tetanggaku baik,
terkadang mereka membagiku beberapa potongan buah-buahan dalam mangkok setelah
mendengar kabar kehamilanku.
Kehamilan tiga bulan
pertama membuatku hati-hati dengan beberapa aktivitas. Kegiatan mengajar les
privat tetap berjalan. Aku harus bersiap menyambut bayiku. Siap dana, fisik dan
mental.
Aku tidak merasakan
perubahan yang signifikan dengan kehamilan ini. Biasa saja, tidak ada rasa
lemas atau pengen makanan rasa asam-asam
manis yang biasanya disukai ibu hamil muda sepertiku. Hanya mual dan sesekali muntah.
Tiga bulan pertama terlewati
dengan baik, masuk ke triwulan kedua tanda-tanda siku, tangan atau kepala yang bergerak mulai terasa. Sakit memang,
tapi membuatku bahagia. Siku kecil ini nampak lancip di pinggir kiri perutku, segera
pindah berganti dengan sisi yang lain ketika elusan lembut tanganku mengusap
bagian itu. Lucu rasanya, ada janin didalam perutku.
Saat malam, abang
terbiasa ngajak ngobrol ‘anaknya’. Suara dan elusan tangan ayahnya membuatnya
tenang. Aku berharap anakku perempuan, sehat, sholehah dan nurut dengan bimbingan
Bapak Ibunya. Banyak do’a yang kuminta pada Sang Pencipta. Hanya Dia yang
sanggup mengabulkan permintaanku.
Memasuki triwulan
kedua, periksa ke bidan saja, dana yang menjadi pemikiran kami. Hanya ada uang
seratus ribu di dompet. Kudatangi Bidan Hasna, setelah beberapa kali meraba
perutku, nampak ada kerutan di wajahnya.
“Bagaimana, kondisi
anak saya, Bu?” Tanya Abang.
“saya sarankan USG dulu
ke spesialis kandungan nggih, Pak…. Biar tahu posisi bayi yang ada dalam perut
ibu.”
Bidan Hasna memberi
secarik surat penghantar periksa ke dokter.
***
Tak perlu menunggu
lama, esok paginya kami sudah menunggu di ruang periksa spesialis kandungan, berharap
hal baik bisa kami dengar pagi ini. Jujur saja, terlintas di benak dan pikiran
kami rasa takut ada apa-apa dengan bayiku, kami cuma berdua dan jauh dari sanak
saudara, minim pengalaman dan dana.
“Ibu, keadaan kehamilan
ibu Alhamdulillah baik… hanya saja, saya minta ibu datang ke sini sebulan
sekali, sampai kelahiran tiba,” kata dokter
“Baik Dok… kira-kira
perkembangan janin saya bagaimana?”
“Alhamdulillah,
kandungan Ibu sehat, janin juga sehat… hanya posisi bayi yang belum bisa
diprediksi karena masih terus mencari posisi yang nyaman saat melahirkan
nanti,” kata Dokter.
Setelah bertemu dan mengetahui
kondisi kehamilanku, aktivitasku keembali normal tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Bulan berikutnya, kalimat
dokter masih juga sama seperti sebelumnya, aku harus banyak berdo’a
memohon dimudahkan persalinanku nanti.
***
Keluhan pinggang dan kaki
mulai kurasakan saat usia kandungan memasuki usia 8 bulan. Untuk jalan kaki
dalam waktu lama, perutku mulai perih, ngilu. Kata orang tua dulu, perutku ini
harus dinaikkan, dibetulkan posisinya biar ibunya ga kesakitan.
“perutmu kui kengser,
Nduk….” Kata Nenek yang biasa disebut dukun beranak. Mak Dila namanya.
“ya sudah Mak… kapan
ada waktu pegang perut saya ya…” jawabku sambil tertertawa.
Minggu pagi, Mak Dila
datang, mencoba meraba beberapa posisi bayiku.
“Nduk, bayimu sudah
besar. Posisinya sungsang ini.”
Deg… Allahu Robbi.
“Benarkah, Mak?’
tanyaku. Mak mengangguk kepala meyakinkan.
“Seharusnya usia
kandungan segini posisi kepala sudah dijalan lahir. Lah ini…malah punggung
melintang begini.”
Mak membawa tanganku ke
arah yang ditunjukkan.
“Ini posisi kepala
bayimu,” lanjutnya.
Aku terdiam, berpikir.
“bisa lahiran normal
gay a Mak?” tanyaku.
“Bisa saja, Allah Maha
Mengabulkan do’a, Nduk… nyuwun saja sama Gusti Allah dan rajin-rajinlah
bersujud. Tempelkan dahimu lama, memohon ya… ” Lanjut Mak Dila.
“kemungkinan bisa lahir
normal ya Mak?’ tanyaku meyakinkan.
Mak mengangguk.
Kulaksanakan saran Mak
Dila. Pasrahkan keadaan, mudah-mudahan dilancarkan.
Jelang Sembilan bulan
teryata keadaan janinku posisinya tetap tidak berubah.
“sepertinya bisa di
induksi, Bu… andai tidak bisa kami gunakan cara terakhir untuk keselamatan ibu
dan janinnya. Terpaksa ibu harus melahirkan Caesar.
“bisa diperkirakan
kapan dilaksanakan, Dokter?”
“InsyaAllah dua atau
tiga minggu lagi. Persiapkan keadaan dan kondisi ibu ya…jangan berpikiran
berat, santai saja.” Kata dokter.
“Baik….”
Manusia hanya bisa
berencana namun Allah yang Maha Kuasalah yang punya takdir terbaik untuk
hambaNya.
Rencana dokter
menginduksi kelahiran janinku selama kurang lebih sepuluh jam induksi
kuputuskan di Caesar saja. Aku sudah
sulit mensugesti diri sendiri, yang ada dalam pikiran ku adalah bagaimana
caranya cepat-cepat keluar dari rasa sakit akibat induksi ini, bukan lagi
karena pengen cepat-cepat ketemu dengan buah hatiku.
Jujur aku takut memberi
keputusan Caesar, kata tetanggaku rasa sakit setelah operasi lebih sakit daripada melahirkan normal. Tapi
Lillahi ta’ala… melahirkan normal atau caersar hanya langkah awal untuk
menghadirkan sang anak ke dunia. Masih ada proses panjang untuk menjadi ibu
yang baik. Merawat dan membimbing anakku nanti perlu perjuangan juga, bukan
hanya sekedar masalah cara melahirkan.
Setelah yakin dengan
keputusan yang kuambil, aku siap masuk ke ruang operasi. Ada kejadian lucu yang
tak mungkin terlupakan. Sebelum operasi
dilaksanakan, dokter meminta persetujuan dan ijin melakukan operasi caesarku
beserta sebab akibat dari operasi ini. qadarullah… satu jam sebelum operasi Abang, suamiku dipanggil ke kantor Kementerian
Agama untuk mengambil berkas pegawai
negeriku , ada perlu ditandatangani dan diserahkan saat itu juga.
Jadilah aku sendiri di
ruang operasi, sedikit nervous. Untunglah dokter-dokternya baik dan ramah.
Mereka mengajak ngobrol ringan.
Memintaku duduk dan sedikit membungkus untuk memudahkan dokter anastesi
menyuntik bagian punggungku. Tidak sakit, hanya rasa perih menjalar ke beberapa
bagian tubuhku. Bagian paha juga mendapat bagiannya. Setelah disuntik bius,
kira-kira 15 menit kaki dan bagian perutku mulai kaku seperti kesemutan, sampai
nggak bisa lagi merasakan cubitan atau pukulan kecil di kakiku.
“Sakit tidak, Bu?’
Tanya dokter sambil mencubit betisku.
“tidak, Dok.”
Perawat mulai menutupi
bagian perutku dengan tirai. Jadi ada batas antara bagian perut ke atas dan
perut ke bawah.
“Kenapa harus ditutup,
Sus? Saya kan pengen lihat anak saya lahir?”
“Wah, tidak boleh
dilihat, Bu. Nanti ibu trauma kalau mau melahirkan seperti ini lagi.” Kata
dokter sambil berkelakar.
Sambil mengoperasi,
dokter mengajakku ngobrol tentang pekerjaan, orang tua, hobby menjahitku
layaknya seperti orang yang nongkrong di warung kopi.
Sebenarnya disaat yang
sama, aku merasakan bagian bawah perutku di tarik, ditekan, disayat dan ditarik
lagi.
Kurang lebih 10 menit,
terdengar suara tangisan. Aduuhh…maknyesss rasanya hati ini. Suara tangis
anakku kencang sekali.
“Allahu Akbar, anak ibu
besar dan putih mulus. Selamat ya Bu… anaknya seorang putri.” Kata dokter
anastesi yang terdekat posisinya denganku.
“Alhamdulillah,
terimakasih yaa….”
Air mataku keluar tanpa
sadar, bersyukur bisa melewati masa melahirkan dengan selamat.
Masih dalam posisi
berbaring dokter menyelesaikan dan merapikan proses pasca melahirkan , bidan membawa anakku yang sudah wangi bau
minyak telon dan bedak, aku menciumnya. Dduhhh… terharu. Dia cantik seperti
mamanya, kata bu bidan.
***
Setelah operasi
selesai, aku dibawa ke ruang pemulihan. Beberapa jam sampai efek bius mulai
berkurang. Saat seperti inilah, menunggu jadi sangat membosankan. Rasanya pengen
cepat duduk, bangkit dan merawat anakku sendiri. Nyatanya kaki, dan bagian
pinggangku pegal, panas. Kucoba mengangkat kaki, menggoyang-goyangnya jempolku,
sulit sekali. Semua mati rasa. Badanku mulai menggigil demam, tapi segera pulih
setelah diberi penurun panas.
Suamiku sabar menemani
dan mengusap punggung dan kakiku yang terasa panas dan pegal. Bidan yang piket
hari ini menganjurkan segera latihan
mmenggerakkan badan , mulai dari mata kaki dan memiringkan badan.
“jangan dimanja
sakitnya ya, Bu… dicoba latihan pemulihan meski sakit dan rada ngilu. Biar
cepet bisa pulang.”
esoknya, dokter
spesialis kandungan mengunjungiku, beliau juga menyarankan pelan-pelan latihan
duduk di kasur, lanjutkan dengan latihan berdiri dan berjalan.
“selanjutnya bagaimana,
Dok?’ tanyaku.
“Ibu bisa segera pulang
kalau sudah kuat berjalan. Dan tolong bagian bekas operasi tidak boleh terkena
air dulu.”
“Baik, Dokter…
terimakasih bantuannya.” Jawabku.
Alhamdulillah, aku sudah di kembalikan lagi keruang yang bisa
berkumpul dengan anakku. Melihatnya tertidur dalam baby box disamping ranjangku,
duhaiii…rasanya pengen segera menimang dan menciumnya.
***
Bidan jaga dalam ruang
tempat kami menginap mengajarkan bagimana posisi menyusui yang benar.
Terkadang aku jadi
ingin tertawa mengingat bagaimana putingku tidak bisa masuk ke mulut bayi. Rasanya
canggung banget menyusui bayi sendiri. Maklumlah pengalaman pertama.
ASI-ku tidak mau keluar
juga meski dede sudah menghisapnya.
“Ibu, sebelumnya apa ga
dipersiapkan untuk kelancaran ASI?” Bidan Ning bertanya.
“Saya ndak tahu, Sus…”
“Ya sudah, ditahan rasa
sakitnya ya, putting ibu saya kompres dulu dengan air hangat dan nanti saya
bantu ibu agar ASI bisa keluar.”
“Baik…” jawabku.
Setelah dikompres air
hangat, BIdan Ning memencet putingku keras sampai aku menjerit kesakita.
“Maaf ya Bu… ini demi
kebaikan ibu sendiri.”
Aku mengangguk lemas.
Sakit sekali pencetannya.
Setelah itu,
Alhamdulillah ASI bila lancar keluar.
***
Sakit pasca operasi
masih terasa hingga kurang lebih tiga bulan. Pengalamanku, setahun pasca melahirkan masih saja terasa
sakit bila mengangkat barang-barang berat. Hanya saja, rasa sakit itu lebih
sering diabaikan karena kesibukan baru yang mulai tampak di depan mata.
Bahagia tampak
sederhana bukan? Bukan dengan limpahan materi dan sejenisnya. Melihat anak
tertidur pulas hilang sudah rasa sakit dan lelah yang kita alami.
Bahagia deh menjadi
seorang ibu. Serasa lengkap sudah fitrah kita sebagai seorang wanita.
HIKMAH
KISAH MELAHIRKAN
1.
Pengalaman adalah guru yang paling
berharga.
2.
Kehamilan adalah satu proses pendewasaan
dan kemandirian seorang ibu muda.
3.
Melahirkan merupakan awal perjuangan
sepasang orang tua mempersiapkan putra-putrinya menjadi anak yang sholeh dan
sholehah.
4.
Wanita yang hamil dan perjuangan
melahirkan anaknya mendapat pahala yang besar dari Allah SWT, karena kesulitan,
rasa sakit dan perjuangan antara hidup dan mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar