Rabu, 24 April 2019

KISAH BASED TRUE STORY


Satu contoh based true story siap untuk dikritik dan dipelajari, hehehe.... Selamat menikmati kawan- kawan  😊

YA ALLAH, BERILAH AKU KEKUATAN SAAT MELAHIRKAN
EXPECTED BABY
Jarni Sujarni
Kisah ini  bermula Ketika seorang teman bertanya tentang pengalamanku melahirkan dua bayi mungil dan satu kali keguguran karena virus tokso dan bagaimana kisah penantian menimang anak pertama yang hadirnya cukup lama dinanti .
***
Nomer urut pertama sudah ada dalam kantung baju yang kupakai padahal masih pagi terlalu pagi untuk berobat.
Setelah ambil nomer antrian daftar pasien di Puskesmas Tambun, kuputuskan sarapan soto Surabaya . Ga peduli tempatnya nyempil di pinggir jalan tikus*  dan rame orang lalu-lalang di sekitarnya, yang penting soto itu enak dan nyaman di perutku.
Tinggal seorang diri enaknya memang seperti ini.
Pengen makan, mampir!, kata suami yang ada di seberang sana. Beruntung juga  punya badan yang sulit melar, makan model bagaimanapun tak bisa bikin badan ini gembul.
Setelah beres isi perut dan cek beberapa pesan yang ada di hape, kembali ke Puskesmas. Sudah banyak yang hadir rupanya, karyawan instansi pemerintah sekarang terlihat disiplin, beberapa dokter terlihat sudah ada di kursinya.
Panggilan pertama…
“Ibu Nisaaa…silahkan masuk!”
“Apa keluhannya, Bu?” Tanya Dokter muda itu. Dokter Erlin namanya. Dokter cantik dan style.
“Begini Dok, rasanya badan ini kok pegel semua bagian pinggang ya? Rasanya perut  mual kalau makan, mules… kepala juga sering pusing.”
Dokter memintaku berbaring. Menekan-nekan perut bawah tulang dada dan sedikit menepuk-nepuknya.
“Sudah lama lama seperti ini, Bu?”
Aku menjawab dengan gelengan kepala.
Dokter menyarankan untuk tes urine di Lab Puskesmas.
Loh…sakit perut kok ya malah tes urine. Apa aku hamil?
“Selamat, Bu…. Ibu positf hamil 3 minggu.” Kata Dokter sambil menjabat tanganku.
Bahagia? Waduh, jangan ditanya tentang hal ini. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk mendengarkan kalimat itu. Aku menangis!
Maaf ya Dokter, menangis dipelukanmu membuatku nyaman.
Setelah sampai di rumah, suami harus menjadi orang pertama menerima kabar ini.  Jarak yang memisahkan tak menjadi halangan saling berkomunikasi.
“Assalamu’alaikum, Abang….”
Setengah jam berbincang dengannya membuatku gemetar. Aku tahu suamiku bahagia dengan kabarku. Sesaat setelah kata postif hamil, Abang terdiam, lama.
“Dik, Alhamdulillah, Abang senang banget. Jaga dan rawat kesehatan ya…. Dua hari lagi Abang pulang.”
Aku tersenyum.
Ternyata kepulangannya kali ini pulang untuk selama-lamanya. Perusahaan pengeboran  minyak mentah mem-PHK sepihak suamiku.
***
Sesuatu rasanya sudah menyabotase selera makanku,  aku mulai mual dengan bau-bau bawang goreng yang tercium. Malas makan!
Aku yang notebene penggemar segala makanan, kali ini harus merelakan memuntahkan kembali beberapa suap yang berhasil masuk ke dalam organ pencernaan. Beuntung tetanggaku baik, terkadang mereka membagiku beberapa potongan buah-buahan dalam mangkok setelah mendengar kabar kehamilanku.
Kehamilan tiga bulan pertama membuatku hati-hati dengan beberapa aktivitas. Kegiatan mengajar les privat tetap berjalan. Aku harus bersiap menyambut bayiku. Siap dana, fisik dan mental.
Aku tidak merasakan perubahan yang signifikan dengan kehamilan ini. Biasa saja, tidak ada rasa lemas atau pengen makanan  rasa asam-asam manis yang biasanya disukai ibu hamil muda sepertiku. Hanya mual dan sesekali muntah.
Tiga bulan pertama terlewati dengan baik, masuk ke triwulan kedua tanda-tanda siku, tangan atau kepala  yang bergerak mulai terasa. Sakit memang, tapi membuatku bahagia. Siku kecil ini nampak lancip di pinggir kiri perutku, segera pindah berganti dengan sisi yang lain ketika elusan lembut tanganku mengusap bagian itu. Lucu rasanya, ada janin didalam perutku.
Saat malam, abang terbiasa ngajak ngobrol ‘anaknya’. Suara dan elusan tangan ayahnya membuatnya tenang. Aku berharap anakku perempuan, sehat, sholehah dan nurut dengan bimbingan Bapak Ibunya. Banyak do’a yang kuminta pada Sang Pencipta. Hanya Dia yang sanggup mengabulkan permintaanku.
Memasuki triwulan kedua, periksa ke bidan saja, dana yang menjadi pemikiran kami. Hanya ada uang seratus ribu di dompet. Kudatangi Bidan Hasna, setelah beberapa kali meraba perutku, nampak ada kerutan di wajahnya.
“Bagaimana, kondisi anak saya, Bu?” Tanya Abang.
“saya sarankan USG dulu ke spesialis kandungan nggih, Pak…. Biar tahu posisi bayi yang ada dalam perut ibu.”
Bidan Hasna memberi secarik surat penghantar periksa ke dokter.
***
Tak perlu menunggu lama, esok paginya kami sudah menunggu di ruang periksa spesialis kandungan, berharap hal baik bisa kami dengar pagi ini. Jujur saja, terlintas di benak dan pikiran kami rasa takut ada apa-apa dengan bayiku, kami cuma berdua dan jauh dari sanak saudara, minim pengalaman dan dana.
“Ibu, keadaan kehamilan ibu Alhamdulillah baik… hanya saja, saya minta ibu datang ke sini sebulan sekali, sampai kelahiran tiba,” kata dokter
“Baik Dok… kira-kira perkembangan janin saya bagaimana?”
“Alhamdulillah, kandungan Ibu sehat, janin juga sehat… hanya posisi bayi yang belum bisa diprediksi karena masih terus mencari posisi yang nyaman saat melahirkan nanti,” kata Dokter.
Setelah bertemu dan mengetahui kondisi kehamilanku, aktivitasku keembali normal tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bulan berikutnya, kalimat  dokter masih juga sama seperti sebelumnya, aku harus banyak berdo’a memohon dimudahkan persalinanku nanti.
***
Keluhan pinggang dan kaki mulai kurasakan saat usia kandungan memasuki usia 8 bulan. Untuk jalan kaki dalam waktu lama, perutku mulai perih, ngilu. Kata orang tua dulu, perutku ini harus dinaikkan, dibetulkan posisinya biar ibunya ga kesakitan.
“perutmu kui kengser, Nduk….” Kata Nenek yang biasa disebut dukun beranak. Mak Dila namanya.
“ya sudah Mak… kapan ada waktu pegang perut saya ya…” jawabku sambil tertertawa.
Minggu pagi, Mak Dila datang, mencoba meraba beberapa posisi bayiku.
“Nduk, bayimu sudah besar. Posisinya sungsang ini.”
Deg… Allahu Robbi.
“Benarkah, Mak?’ tanyaku. Mak mengangguk kepala meyakinkan.
“Seharusnya usia kandungan segini posisi kepala sudah dijalan lahir. Lah ini…malah punggung melintang begini.”
Mak membawa tanganku ke arah yang ditunjukkan.
“Ini posisi kepala bayimu,” lanjutnya.
Aku terdiam, berpikir.
“bisa lahiran normal gay a Mak?” tanyaku.
“Bisa saja, Allah Maha Mengabulkan do’a, Nduk… nyuwun saja sama Gusti Allah dan rajin-rajinlah bersujud. Tempelkan dahimu lama, memohon ya… ” Lanjut Mak Dila.
“kemungkinan bisa lahir normal ya Mak?’ tanyaku meyakinkan.
Mak mengangguk.
Kulaksanakan saran Mak Dila. Pasrahkan keadaan, mudah-mudahan dilancarkan.
Jelang Sembilan bulan teryata keadaan janinku posisinya tetap tidak berubah.
“sepertinya bisa di induksi, Bu… andai tidak bisa kami gunakan cara terakhir untuk keselamatan ibu dan janinnya. Terpaksa ibu harus melahirkan Caesar.
“bisa diperkirakan kapan dilaksanakan, Dokter?”
“InsyaAllah dua atau tiga minggu lagi. Persiapkan keadaan dan kondisi ibu ya…jangan berpikiran berat, santai saja.” Kata dokter.
“Baik….”
Manusia hanya bisa berencana namun Allah yang Maha Kuasalah yang punya takdir terbaik untuk hambaNya.
Rencana dokter menginduksi kelahiran janinku selama kurang lebih sepuluh jam induksi kuputuskan di Caesar saja. Aku  sudah sulit mensugesti diri sendiri, yang ada dalam pikiran ku adalah bagaimana caranya cepat-cepat keluar dari rasa sakit akibat induksi ini, bukan lagi karena pengen cepat-cepat ketemu dengan buah hatiku.
Jujur aku takut memberi keputusan Caesar, kata tetanggaku rasa sakit setelah operasi  lebih sakit daripada melahirkan normal. Tapi Lillahi ta’ala… melahirkan normal atau caersar hanya langkah awal untuk menghadirkan sang anak ke dunia. Masih ada proses panjang untuk menjadi ibu yang baik. Merawat dan membimbing anakku nanti perlu perjuangan juga, bukan hanya sekedar masalah cara melahirkan.
Setelah yakin dengan keputusan yang kuambil, aku siap masuk ke ruang operasi. Ada kejadian lucu yang tak mungkin terlupakan.  Sebelum operasi dilaksanakan, dokter meminta persetujuan dan ijin melakukan operasi caesarku beserta sebab akibat dari operasi ini. qadarullah… satu jam sebelum operasi  Abang, suamiku dipanggil ke kantor Kementerian Agama untuk mengambil berkas  pegawai negeriku , ada perlu ditandatangani dan diserahkan saat itu juga.
Jadilah aku sendiri di ruang operasi, sedikit nervous. Untunglah dokter-dokternya baik dan ramah. Mereka mengajak ngobrol ringan.  Memintaku duduk dan sedikit membungkus untuk memudahkan dokter anastesi menyuntik bagian punggungku. Tidak sakit, hanya rasa perih menjalar ke beberapa bagian tubuhku. Bagian paha juga mendapat bagiannya. Setelah disuntik bius, kira-kira 15 menit kaki dan bagian perutku mulai kaku seperti kesemutan, sampai nggak bisa lagi merasakan cubitan atau pukulan kecil di kakiku.
“Sakit tidak, Bu?’ Tanya dokter sambil mencubit betisku.
“tidak, Dok.”
Perawat mulai menutupi bagian perutku dengan tirai. Jadi ada batas antara bagian perut ke atas dan perut ke bawah.
“Kenapa harus ditutup, Sus? Saya kan pengen lihat anak saya lahir?”
“Wah, tidak boleh dilihat, Bu. Nanti ibu trauma kalau mau melahirkan seperti ini lagi.” Kata dokter sambil berkelakar.
Sambil mengoperasi, dokter mengajakku ngobrol tentang pekerjaan, orang tua, hobby menjahitku layaknya seperti orang yang nongkrong di warung kopi.
Sebenarnya disaat yang sama, aku merasakan bagian bawah perutku di tarik, ditekan, disayat dan ditarik lagi.
Kurang lebih 10 menit, terdengar suara tangisan. Aduuhh…maknyesss rasanya hati ini. Suara tangis anakku kencang sekali.
“Allahu Akbar, anak ibu besar dan putih mulus. Selamat ya Bu… anaknya seorang putri.” Kata dokter anastesi yang terdekat posisinya denganku.
“Alhamdulillah, terimakasih yaa….”
Air mataku keluar tanpa sadar, bersyukur bisa melewati masa melahirkan dengan selamat.
Masih dalam posisi berbaring dokter menyelesaikan dan merapikan proses pasca melahirkan ,  bidan membawa anakku yang sudah wangi bau minyak telon dan bedak, aku menciumnya. Dduhhh… terharu. Dia cantik seperti mamanya, kata bu bidan.
***
Setelah operasi selesai, aku dibawa ke ruang pemulihan. Beberapa jam sampai efek bius mulai berkurang. Saat seperti inilah, menunggu jadi sangat membosankan. Rasanya pengen cepat duduk, bangkit dan merawat anakku sendiri. Nyatanya kaki, dan bagian pinggangku pegal, panas. Kucoba mengangkat kaki, menggoyang-goyangnya jempolku, sulit sekali. Semua mati rasa. Badanku mulai menggigil demam, tapi segera pulih setelah diberi penurun panas.
Suamiku sabar menemani dan mengusap punggung dan kakiku yang terasa panas dan pegal. Bidan yang piket hari ini menganjurkan  segera latihan mmenggerakkan badan , mulai dari mata kaki dan memiringkan badan.
“jangan dimanja sakitnya ya, Bu… dicoba latihan pemulihan meski sakit dan rada ngilu. Biar cepet bisa pulang.”
esoknya, dokter spesialis kandungan mengunjungiku, beliau juga menyarankan pelan-pelan latihan duduk di kasur, lanjutkan dengan latihan berdiri dan berjalan.
“selanjutnya bagaimana, Dok?’ tanyaku.
“Ibu bisa segera pulang kalau sudah kuat berjalan. Dan tolong bagian bekas operasi tidak boleh terkena air dulu.”
“Baik, Dokter… terimakasih bantuannya.” Jawabku.
Alhamdulillah, aku  sudah di kembalikan lagi keruang yang bisa berkumpul dengan anakku. Melihatnya tertidur dalam baby box disamping ranjangku, duhaiii…rasanya pengen segera menimang dan menciumnya.
***
Bidan jaga dalam ruang tempat kami menginap mengajarkan bagimana posisi menyusui yang benar.
Terkadang aku jadi ingin tertawa mengingat bagaimana putingku tidak bisa masuk ke mulut bayi. Rasanya canggung banget menyusui bayi sendiri. Maklumlah pengalaman pertama.
ASI-ku tidak mau keluar juga meski dede sudah menghisapnya.
“Ibu, sebelumnya apa ga dipersiapkan untuk kelancaran ASI?” Bidan Ning bertanya.
“Saya ndak tahu, Sus…”
“Ya sudah, ditahan rasa sakitnya ya, putting ibu saya kompres dulu dengan air hangat dan nanti saya bantu ibu agar ASI bisa keluar.”
“Baik…” jawabku.
Setelah dikompres air hangat, BIdan Ning memencet putingku keras sampai aku menjerit kesakita.
“Maaf ya Bu… ini demi kebaikan ibu sendiri.”
Aku mengangguk lemas. Sakit sekali pencetannya.
Setelah itu, Alhamdulillah ASI bila lancar keluar.
***
Sakit pasca operasi masih terasa hingga kurang lebih tiga bulan. Pengalamanku,  setahun pasca melahirkan masih saja terasa sakit bila mengangkat barang-barang berat. Hanya saja, rasa sakit itu lebih sering diabaikan karena kesibukan baru yang mulai tampak di depan mata.
Bahagia tampak sederhana bukan? Bukan dengan limpahan materi dan sejenisnya. Melihat anak tertidur pulas hilang sudah rasa sakit dan lelah yang kita alami.
Bahagia deh menjadi seorang ibu. Serasa lengkap sudah fitrah kita sebagai seorang wanita.






HIKMAH KISAH MELAHIRKAN
1.      Pengalaman adalah guru yang paling berharga.
2.      Kehamilan adalah satu proses pendewasaan dan kemandirian seorang ibu muda.
3.      Melahirkan merupakan awal perjuangan sepasang orang tua mempersiapkan putra-putrinya menjadi anak yang sholeh dan sholehah.
4.      Wanita yang hamil dan perjuangan melahirkan anaknya mendapat pahala yang besar dari Allah SWT, karena kesulitan, rasa sakit dan perjuangan antara hidup dan mati.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar